Beranda Mau Tau Urgensi Rekonstruksi Regulasi Ketenagakerjaan Berbasiskan Keadilan Pancasila

Urgensi Rekonstruksi Regulasi Ketenagakerjaan Berbasiskan Keadilan Pancasila

198
0
BERBAGI

(Opini)

Oleh: Dr. Subiyanto Pudin, S.Sos.,SH.,MKn.,CLA

Pada tanggal 31 Oktober 2024 Mahkamah Konstitusi menetapkan putusan atas gugatan Partai Buruh, DPP KSPSI Pimpinan Andi Gani Nena Wea, KSPI dan FSPMI sebagai Pemohon dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 168/PUU-XXI/2023, yang dibacakan pada tanggal 31 Oktober 2024.

Dalam putusan MK tersebut mengabulkan 21 (dua puluh satu) gugatan pemohon dan menolak satu gugatan pemohon, secara substansi dari 21 (dua puluh satu) ketentuan yang dikabulkan berhubungan dengan kebijakan ketenagakerjaan yang dapat dirinci sebagai berikut : delapan hal yang berhubungan dengan kebijakan penatapan upah, satu poin tentang TKA, satu hal tentang Mennaker yang bertanggungjawab bidang ketenakerjaan, tiga poin tentang hubungan kerja (PKWT dan alih daya), satu poin tentang waktu istirahat mingguan, satu poin tentang cuti besar, satu poin pengaturan tentang hak lainnya dari Pekerja/Buruh dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi, satu poin tentang peranan Dewan Pengupahan Daerah dalam memberikan pertimbangan kepada Pemeintah daerah dan Pemerintah Pusat, tiga poin tentang perlindungan pekerja dalam proses PHK (wajib perundingan Bipartit secara musyawarah mufakat, PHK sah bila sudah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap, hak dan kewajiban para pihak dalam perselisihan PHK tetap wajib dilaksanakan sampai berakhirnya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang PPHI) dan satu poin tentang ketentuan Pesangon, mengembalikan frasa paling sedikit sebagaimana ketentuan Pasal 156.

Secara substansi hukum 21 (dua puluh satu) poin putusan MK tersebut dikabulkan karena UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945, semakin terang benderang UU Cipta Kerja telah lepas dari UUD 1945 yang merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai Pancasila sebagai filosofi dan pandangan hidup (way of life) bangsa Indonesia.

Ada hal yang menarik untuk kita simak secara mendalam pada pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi pada poin 3.16 yaitu satu substansi dari 3 substansi, yaitu secara faktual, materi/substansi undang-undang ketenagakerjaan telah berulang kali dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya ke Mahkamah. Merujuk data pengujian undang-undang di Mahkamah, sebagian materi/substansi dalam UU 13/2003 telah 37 (tiga puluh tujuh) kali diuji konstitusionalitasnya. Berdasarkan jumlah pengujian tersebut, dari 36 (tiga puluh enam) yang telah diputus Mahkamah, 12 (dua belas) permohonan dikabulkan, baik kabul seluruhnya maupun kabul sebagian. Artinya, sebelum sebagian materi/substansi UU 13/2003 diubah dengan UU 6/2023, sejumlah materi/substansi dalam UU 13/2003 telah dinyatakan oleh Mahkamah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, baik untuk seluruh norma yang diuji maupun yang dinyatakan inkonstitusional atau konstitusional secara bersyarat.

Terhadap fakta tersebut, karena sebagian materi/substansinya telah dinyatakan inkonstitusional, dalam batas penalaran yang wajar, UU 13/2003 tidak utuh lagi. Dengan demikian dampak atas putusan MK ini sangat mungkin ada perhimpitan norma hukum pada Undang-Undang Ketenagakerjaan akan mengancam perlindungan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil bagi warga negara, berpotensi merugikan pekerja/buruh dan pengusaha, sebagaimana amanat Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Fenomena ini sangat nampak bahwa Undang-Undang Ketenagakerjaan sebagai hukum positif (ius constitutum) yang existing yaitu UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU 6/2023 tentang Cipta Kerja belum sesuai dengan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum) sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 yang merupakan landasan filosofi dalam membuat hukum.
Konsekuensi logis Indonesia sebagai negara yang menganut paham negara kesejahteraan (welfare state) dan sebagai anggota ILO, maka Indonesia sudah meratifikasi 18 (delapan belas) konvensi dan 2 (dua) rekomendasi ILO yang dimuat dalam regulasi ketenagakerjaan yang existing sebagai hukum heteronom, sebagaimana diuraikan pada gambar tabel berikut ini.

Berangkat dari hasil penelitian disertasi penulis yang berjudul “rekonstruksi regulasi ketenagakerjaan yang integral dalam mewujudkan hubungan industrial berbasiskan keadilan Pancasila” sebagaimana teori sistem hukum dari Lawrence M Friaedman kita memotret hukum dari 3 (tiga) aspek yaitu : 1).Struktur hukum (struktur of law), 2).Substansi hukum (substance of the law), dan 3).Budaya hukum (legal culture).
Kondis real substansi hukum pada 8 (delapan) Undang-Undang sebagai regulasi ketenagakerjaan sebagai hukum heteronom yaitu 6 (enam) sebagai hukum materiil dan 2 (dua) sebagai hukum formiil, hanya 37,5% sudah ada muatan Pancasila sebagai landasan idiil dalam konsideran menimbang dan 100% belum ada muatan Pancasila sebagai landasan operasional.

Dengan kondisi substansi hukum pada regulasi ketenagakerjaan Indonesia seperti itu, maka budaya hukum dalam proses inter aksi dialog sosial ketenagakerjaan untuk membangun hubungan Industrial terlepas dari nilai-nilai keadilan Pancasila yaitu nilai itikad baik (sari patih sila pertama dan sila kedua) dan nilai gotong royong (sari patih sila ketiga, sila keempat dan sila kelima).Sehingga secara tidak sadar sikap dan perilaku 3 (tiga) pelaku hubungan industrial Indonesia (Pemerintah, Pengusaha, dan Pekerja/Buruh) terseret arus nilai liberal yaitu sikap individualistis yang bebas dengan perilaku dialog sosial ketenagakerjaan menang-kalah (win and lose).

Maka Putusan No.168/PUU-XXI/2023 merupakan momentum yang tepat sebagai pintu masuk bangsa Indonesia untuk berbenah dan melakukan rekonstruksi regulasi ketenagakerjaan yang integral dalam mewujudkan hubungan industrial berbasiskan keadilan Pancasila, agar substansi hukum regulasi ketenagakerjaan dilakukan pengembalian kembali secara keseluruhan, koheren, komprehensif dan terintegrasi (integral) yang berdasarkan kejadian semula yaitu menjadikan nilai keadilan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia dapat direalisasikan oleh pelaku hubungan Industrial.

Dengan kondis regulasi ketenagakerjaan berbasiskan keadilan Pancasila menjadi milestone pembangunan Indonesia menjadi negara industri maju dengan paradigma baru hubungan industrial oleh pelaku utama hubungan industrial dengan sikap yang mengaktualisasikan nilai keadilan Pancasila yaitu sikap saling memberi, saling menerima dan semua menang (Give and take all the winner).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here