Beranda Mau Tau Ombudsman dan Pemantau Media

Ombudsman dan Pemantau Media

530
0
BERBAGI

Penulis : Kamsul Hasan (Ahli Pers Dewan Pers)

Jakarta,  Warta Reformasi – Kerja ombudsman dan pemantau media independen hampir sama. Bedanya ombudsman bekerja pada media tertentu, pemantau independen lebih luas.

Perbedaan lainnya ombudsman mendapatkan gaji tetap dari perusahaan pers, pemantau independen bekerja sukarela demi kepentingan publik.

Dasar kerja ombudsman adalah Pasal 5 ayat (2) dan lebih khusus Pasal 5 ayat (3) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Memeriksa hasil kerja redaksi pasca produksi setelah siar.

Pemantau media independen melaksanakan perintah Pasal 17 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Pasal 52 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang juga mengamati produk jurnalistik apakah terjadi pelanggaran terhadap kemerdekaan pers.

PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 17 UU Pers
(1) Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan
kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
a. memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran
hukum, etika, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers;
b. menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.

Pasal 52 UU Penyiaran
(1) Setiap warga negara Indonesia memiliki hak, kewajiban, dan tanggung jawabdalam berperan serta mengembangkan penyelenggaraan penyiaran nasional.
(2) Organisasi nirlaba, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, dan kalangan pendidikan, dapat mengembangkan kegiatan literasi dan/atau pemantauan Lembaga Penyiaran.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap program dan/atau isi siaran yang merugikan.

Jadi, perusahaan pers jangan kaget bila ombudsman mereka “tidur” fungsinya diambil alih oleh pemantau media independen dilaporkan ke Dewan Pers dan atau KPI karena melanggar hukum, etik dan berbagai pedoman pemberitaan.

https://sumsel.tribunnews.com/amp/2021/03/15/remaja-residivis-curanmor-di-prabumulih-larikan-motor-teman-pura-pura-pinjam-gagal-pakai-kunci-t

Berita seperti ini biasanya dijadikan bahan pelatihan bagi calon ombudsman dan pemantau media independen saat keliling Indonesia.

Bagaimana menghasilkan produk jurnalistik presisi bila polisi menyebut tersangka, korban atau saksi berusia 18 tahun ?

Wartawan harus “kepo” apakah saat tindak pidana terjadi, usia 18 tahun sudah genap atau belum ?

Ini usia ”tikungan” antara status anak atau dewasa.

1. Menyebut usia 18 tahun, biasanya karena tahun kelahiran tetapi belum tentu presisi.
2. Usia 18 tahun merupakan batas status anak atau dewasa yang diatur UU Perlindungan Anak dan atau UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
3. Pada saat melakukan atau menjadi korban / saksi tindak pidana apakah usia 18 tahun sudah genap atau belum ?
4. Seseorang yang lahir pada tanggal 16 Maret 2003 melakukan tindak pidana pada 15 Maret 2021 dia belum genap 18 tahun, statusnya masih anak.
5. Anak yang berhadapan dengan hukum diproses dengan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dan pemberitaan mematuhi Pasal 19 UU SPPA dengan menutup identitas anak. Pelanggar Pasal 19 diancam Pasal 97 UU SPPA, pidana penjara 5 tahun dan denda Rp 500 juta.
6. Hal lain yang sering dilanggar pers adalah mengenai asas praduga tak bersalah, padahal dengan tegas diatur Pasal 5 ayat (1) UU Pers dan Pasal 3 KEJ.
7. Diskriminasi juga sering terjadi seperti berita di atas, ada yang dibuka namanya secara lengkap dan hanya inisial saja. Hal ini bertentangan dengan Pasal 8 KEJ.

# Bila saudara berlatih ingin menjadi ombudsman media dan atau pemantau media, apa lagi yang perlu diperhatikan pada penyajian berita ini ?

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here