oleh
Dr. Subiyanto Pudin, S.Sos., SH., MKn., CLA
Jakarta, Wartareformasi.com – Suasana dalam hubungan industrial di Indonesia menjadi semakin rumit seiring terbitnya kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 9 April 2025. Kebijakan ini mengenakan tarif sebesar 32 persen terhadap barang-barang asal Indonesia, jauh lebih tinggi dari tarif dasar sebesar 10 persen yang diterapkan kepada semua negara pengekspor ke Amerika Serikat.
Dampak kebijakan ini langsung terasa pada sektor industri, khususnya tekstil, yang sangat bergantung pada ekspor ke pasar global. Kebijakan ini memperburuk kondisi industri Indonesia yang sudah menghadapi tantangan berat akibat ketidakstabilan ekonomi global dan lemahnya daya saing produk nasional. Ancaman PHK massal pun kian tampak di depan mata.
Kebijakan Presiden Trump akan menambah rumitnya ekosistem hubungan industrial di negeri yang menganut hubungan industrial berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Kegaduhan situasi dan kondisi hubungan industrial Indonesia terus bergulir paska putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 168/PUU-XXI/2023, pada tanggal 31 Oktober 2024. Hal ini dipicu dengan adanya gelombang PHK masal, salah satu yang muncul ke permukaan dan paling menyedot perhatian publik yaitu PHK masal 10.669 karyawan orang pekerja PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) Group, salah satu raksasa tekstil Indonesia, yang telah beroperasi selama 58 tahun, resmi tutup per 1 Maret 2025 akibat pailit dan gagal membayar utang sebesar Rp 26,02 triliun.
Kejadian terpuruknya kondisi industri Indonesia, utamanya industri tekstil, hal ini menunjukan kebijakan pemerintah belum mampu menciptakan ekosistem dunia usaha dan industri yang sehat untuk mengatasi kompleksitas permasalahan ekonomi Indonesia. Walaupun kita ketahui bersama pemerintah sudah melakukan upaya untuk mengatasi hal itu dengan menetapkan Undang-Undang Cipta Kerja dengan metode omnibuslaw (cara revisi banyak Undang-Undang sekaligus dalam satu UU), menghapus Undang-undang (UU) Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, yang memengaruhi sekitar 80 Undang-Undang, dan mengubah lebih dari 1200 Pasal di 80 Undang-Undang yang terkait.
Khusus yang berhubungan dengan UU No 13 Th 2003, menghapus 27 Pasal, mengubah 33 Pasal dan menambah 14 Pasal, secara garis besar perubahan UU Ketenagakerjaan oleh UU Cipta Kerja yaitu meliputi : 1).PKWT, 2).Waktu kerja 5 hari, 3).Outsourcing diubah jadi alih daya, 4).Upah atau gaji, upah minimum sektoral (UMS), 5).PHK, ketentuan pesangon, dan 6).Tenaga kerja asing (TKA). Yang mengubah sebagian besar regulasi turunannya terdapat dalam 10 peraturan Pemerintah (PP), 3 PerPres, 12 Permennaker dan 7 Kepmennaker .
Berdasarkan realese Bank Dunia (World Bank) ada 7 (tujuh) permasalahan penyebab kompleksitas permasalahan ekonomi Indonesia, yang menjadi faktor penghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia, antara lain adalah :
1).Ketidakmerataan pembangunan,
2).Kesenjangan pendapatan,
Kesenjangan pendapatan dan pembangunan yang tidak merata di berbagai wilayah dan kelompok masyarakat dapat menghambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
3).Inflasi : Tingkat inflasi yang tinggi dapat mengurangi daya beli masyarakat dan mengganggu stabilitas ekonomi
4).Korupsi : Merugikan perekonomian karena mengalihkan sumber daya yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan investasi
5).Utang luar negeri :
Tingkat utang luar negeri yang tinggi dapat menjadi beban bagi perekonomian dan membatasi ruang gerak pemerintah dalam melakukan investasi dan belanja publik
6).Infrastruktur yang kurang memadai, seperti jalan, jembatan, dan pelabuhan, dapat menghambat mobilitas barang dan jasa, serta meningkatkan biaya logistik.dan
7).Kondisi iklim hubungan industrial yang belum kondusif.
Kondisi iklim hubungan industrial yang belum kondusif merupakan salah satu faktor penghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia, karena menciptakan ketidakpastian, menghambat investasi, dan menurunkan produktivitas.
Keseriusan pemerintah untuk membangun ekosistem perekonomian yang sehat, dilihatkan dengan lahirnya kebijakan terbaru pemerintah dibawah kepemimpinan Presiden Prabowo dalam mendukung iklim investasi Indonesia yaitu membangun Danantara yang merupakan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara, sebuah badan yang mengelola aset negara untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Dari 7 (tujuh) permasalahan ekonomi Indonesia tersebut, berdampak pada rendahnya daya saing bangsa Indonesia. Tercatat pada tahun 2024 peringkat daya saing Indonesia berada pada posisi peringkat ke 27 dunia dari 67 negara dalam IMD Competitiveness Ranking (WCR) 2024, menjadi peringkat ketiga di Asia Tenggara dibawah Singapura dan Thailand.
Alih-alih ekosistem hubungan industrial yang tidak sehat berdampak pada gagalnya dialog sosial ketenagakerjaan. Secara substansial dialog sosial ketenagakerjaan dilaksanakan untuk menemukan solusi atas permasalahan ekonomi Indonesia yang menjadi tantangan hubungan industrial Indonesia. Akhirnya 3 (tiga) pelaku utama hubungan industrial Indonesia (Pemerintah, Pengusaha dan Pekerja) belum fokus melakukan dialog sosial ketenagakerjaan yang konstruktif dan produktif untuk mencari solusi atas rendahnya daya saing bangsa Indonesia dan produktivitas kerja Indonesia. Karena dengan produk yang mempunyai daya saing yang tinggi yang mampu bersaing dipasar global.
Sebagai contoh atas gambaran produktivitas Indonesia pertenaga kerja Indonesia pada tahun 2020 sangat rendah bila dibandingkan negara-negara ASEAN dan negara-negara ASIA seperti : 1). Singapura, 2).Malaysia, 3).Thailand, 4).Hongkong, 5).Korea Selatan, 6).Jepang, 7).China, 8).Iran, 9).Srilangka, 10).Mongolia, dan lain-lain. Dari data ini seharusnya 3 (tiga) pelaku utama hubungan industrial Indonesia bisa fokus mengatasi salah satu faktor penyebab produktivitas rendah yaitu faktor sumber daya manusia (SDM) angkatan kerja Indonesia berpendidikan rendah yaitu 55,43 persen lulusan SMP kebawah, perlu penanganan secara khusus.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pemerintah sudah menunjukan upaya sangat serius mengatasi 7 (tujuh) faktor permasalahan ekonomi Indonesia itu kecuali PERMASALAHAN KORUPSI YANG BELUM MENEMUKAN CARA YANG YANG EFEKTIF UNTUK PENCEGAHANNYA.
Secara hukum UU Cipta Kerja yang disahkan pada tahun 2020, mengalami “anti klimaks” karena sudah 2 kali ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yaitu pertama pada tanggal 25 November 2021 dinyatakan dalam putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 karena cacat formil dan menimbulkan ketidakpastian hukum karena putusan MK menyatakan UU tersebut inkonstitusional bersyarat, mengharuskan revisi dengan melibatkan partisipasi publik, namun tetap berlaku sementara sampai 25 November 2023. Kedua pada tanggal 31 Oktober 2024 dinyatakan dalam putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023 yang mengabulkan 21(dua puluh satu) gugatan pemohon yang membatalkan UU No 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
Undang-Undang Cipta Kerja pada tahun 2025 bukan hanya mengalami antiklimaks secara hukum, tetapi mengalami antiklimaks secara makna dan tujuan, karena sesuai maksudnya UU Cipta Kerja yang ditetapkan pemerintah pada tahun 2022 dengan UU No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya. Realitasnya justru terjadi sebaliknya paska terbitnya UU Cipta Kerja terjadi gelombang PHK masal. Dengan demikian timbul pertanyaan apa sesungguhnya faktor penyebab ekosistem iklim investasi Indonesia belum mampu dijawab dengan UU Cipta Kerja ???
Kompleksitas problematika ekosistem iklim investasi Indonesia harus diatasi secara holistik dan komprehensif dengan melibatkan semua pemangku kepentingan, agar mampu menemukan akar permasalahannya, supaya dapat diambil solusi kebijakan yang visioner dan mampu menjawab tantangan iklim investasi untuk pembangunan mewujudkan Indonesia menjadi negara industri maju.