Dr. Subiyanto, S.Sos., SH., MKn., CLA
Jakarta, Wartareformasi.com – Sesuai ketentuan regulasi jaminan pensiun (JP) yang diatur dalam Pasal 15 PP nomor 45 Tahun 2015, usia minimum untuk melakukan klaim Jaminan Pensiun mulai tanggal 1 Januari 2025 adalah usia 59 tahun, dan selanjutnya bertambah 1 (satu) tahun untuk setiap 3 (tiga) tahun berikutnya sampai mencapai Usia Pensiun 65 (enam puluh lima) tahun.
Dengan demikian usia bisa mengajukan klaim JP sudah terpaut 4 (empat) tahun dengan usia rata-rata pekerja swasta pensiun dari pekerjaan yaitu pada usia 55 tahun dan, kondisi ini sudah terjadi dan berpotensi peserta JP yang pensiun dari pekerjaan tidak mendapatkan hak manfaat JP, karena peserta JP dalam masa tunggu klaim manfaat JP selama 4 (empat) tahun tersebut bisa mengalami risiko meninggal dunia. Jika risiko itu terjadi bagi peserta JP, maka yang mendapat manfaat JP yaitu ahli warisnya.
Perbedaan usia pensiun dengan usia klaim manfaat JP akan terus terjadi dan semakin jauh terpautnya, jika Pemerintah membiarkan permasalahan ini terus terjadi, Pemerintah secara tidak langsung seakan-akan telah melakukan fraud (kecurangan) yang dilegalkan oleh regulasi terhadap peserta JP. Masalah lainnya lagi jika pekerja swasta pensiun tidak dapat manfaat JP, berdampak pada layanan JKN, peserta JP menjadi peserta JKN segmen PBI (penerima bantuan iuran) yang akan menambah beban negara.
Latar belakang permasalahan klaim manfaat JP ini terjadi karena dualisme pengaturan usia pensiun, yaitu yang pertama regulasi Jamsosnaker sebagai turunan dari UU BPJS mengatur usia klaim manfaat JP sebagaimana telah diuraikan diatas, yang kedua regulasi ketenagakerjaan dalam Pasal 154 huruf c No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja (PK), peraturan perusahaan (PP), perjanjian kerja bersama (PKB), atau peraturan perundang-undangan.
Sebelum ada program JP penentuan usia pensiun oleh Pengusaha yang perintahkan oleh regulasi ketenagakerjaan ditetapkan dalam PP atau PKB mengacu pada ketentuan usia 55 tahun sebagai usia pensiun untuk pengajuan klaim JHT diera PT.Jamsostek (sebelum bertransformasi menjadi BPJS Ketenagakerjaan), maka ketentuan itulah yang diterapkan sebagai pengaturan usia pensiun bagi pekerja non pegawai negeri atau bukan pegawai pemerintah rata-rata usia 55 tahun.
Memaknai pada bagian akhir ketentuan Pasal 154 huruf c No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja (PK), peraturan perusahaan (PP), perjanjian kerja bersama (PKB) atau peraturan perundang-undangan, sudah sepatutnya Pemerintah dengan kewenangkan yang ada dapat mengakhiri kemelut perbedaan usia pensiun dengan usia klaim manfaat pensiun, agar peserta JP pada saat pensiun dari pekerjaan yang nota bene sudah tidak mempunyai penghasilan mendapatkan manfaat JP sebagai penghasilan pengganti.
Uraian diatas baru satu aspek permasalahan dalam program JP, implementasi program JP pada tahun 2015 ini memasuki satu dekade, agar program JP ini tidak terkesan asal ada diperlukan evaluasi secara menyeluruh yang lebih holistik dan komprehensif atas pelaksanaan program JP, masih banyak permasalahan disamping permasalahan yang paling utama yaitu cakupan kepesertaan program JP masih sangat rendah dibandingkan dengan jumlah pekerja yang ada di Indonesia, permasalahan-permasalahan yang perlu pembenahan antara lain, yaitu :
Pertama, manfaat berkala JP untuk pertama kali tahun 2015, manfaat pensiun paling sedikit ditetapkan sebesar Rp 300.000 untuk setiap bulan dan paling banyak Rp 3.600.000 untuk setiap bulan. Besaran manfaat pensiun paling sedikit dan paling banyak disesuaikan setiap tahun berdasarkan tingkat inflasi umum tahun sebelumnya. Kebijakan manfaat berkala JP belum mencukupi untuk hidup layak, hal ini sangat jauh dengan standar minimal sebagaimana diatur dalam konvensi ILO No. 102 Tahun 1952 tentang standar minimum jaminan sosial, yaitu standar minimal manfaat JP adalah 40 persen dari nilai upah terakhir (replacement rate 40%).
Pemerintah seakan-akan membiarkan kondisi permasalahan manfaat berkala JP yang rendah ini terus terjadi, karena Pemerintah lalai melaksanakan amanat reviu iuran dan manfaat JP sebagaimana ketentuan dalam Pasal 28 ayat (4) PP No. 45 Th 2015 tentang JP yaitu “Besaran Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan evaluasi paling singkat 3 (tiga) tahun dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi nasional dan perhitungan kecukupan kewajiban aktuaria”, dan amanat Pasal 28 ayat (5) PP No.45 tahun 2015 tentang JP yaitu “Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan sebagai dasar untuk penyesuaian kenaikan besaran Iuran secara bertahap menuju 8% (delapan persen)”. Kelalaian Pemerintah ini akan berdampak serius karena akan mengancam keberlangsungan program JP, jika iuran JP tidak segera disesuaikan sesuai amanat regulasi, berdasarkan perhitungan aktuaria BPJS Ketenagakerjaan Rasio Solvabilitas JP pada tahun 2072 akan defisit.
Kedua, perlakuan diskriminatif Pemerintah sebagai penyelenggara negara dalam pelaksanaan program negara yaitu skema iuran dan manfaat JP bagi pekerja non pegawai negeri atau bukan pegawai pemerintah jauh dengan iuran dan manfaat JP untuk pekerja pegawai negeri atau pegawai pemerintah (PNS/ASN, TNI dan POLRI) yang sudah memenuhi kebutuhan hidup layak.
Ketiga, regulasi program JP belum mencakup pekerja yang bekerja pada sektor usaha UKM dan UMKM serta pelaku usaha (pindah segmen jadi BPU). Regulasi program JP ini diskriminatif, karena program JP hanya mencakup pekerja yang bekerja pada sektor formal saja.
Keempat, program JP belum melaksanakan prinsip portabilitas, terutama jika peserta JP pindah segmen pekerjaan jadi ASN,TNI atau POLRI kepesertaan JP tidak bisa berlanjut di TASPEN dan ASABRI. Sedangkan bagi peserta yang pindah bekerja pada UKM dan UMKM serta jadi pelaku usaha (pindah segmen jadi BPU) kepesertaan JP tidak bisa berlanjut. Kondisi ini berdampak pada ketidakpastian penerimaan manfaat berkala bagi peserta JP, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 19 ayat (1) PP No.45 tahun 2025 tentang Jaminan Pensiun yaitu manfaat pensiun hari tua diterima peserta yang telah mencapai usia pensiun dan telah memiliki masa iur paling singkat 15 (lima belas) tahun yang setara dengan 180 (seratus delapan puluh) bulan. Selain permasalahan itu, belum dilaksanakannya prinsip portabilitas ini dan juga berdampak pada rendahnya cakupan kepesertaan JP.
Kelima, regulasi JP yang ambigu dan anomali, karena kesalahan pemberi kerja terlambat bayar iuran JP, dapat merugikan peserta yang berpotensi tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan manfaat berkala JP karena tidak memenuhi Pasal 19 ayat (1) PP No.45 tahun 2025, sebagaimana diuraikan diatas. Dengan demikian Quovadis Jaminan Pensiun Pekerja Swasta ???
Kita tidak pernah berhenti berharap kepada Pemerintah melalui DJSN RI sebagai Think thank nya sesuai mandat dari UU No. 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuanga (P2SK), dapat melakukan rekonstruksi program JHT dan program JP, agar mampu menjadi solusi atas permasalahan perlindungan sosial pekerja swasta dimasa tua, jangan justru menambah permasalahan baru bagi program JHT dan program JP sebagaimana amanat UU SJSN. Sasaran utama program tersebut untuk kehidupan yang layak dan manusiawi bagi pekerja dimasa usia pensiun.