Jakarta, Warta Reformasi – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menggelar konsultasi publik membahas Standar, Norma dan Peraturan (SNP) HAM tentang Tanah dan Sumber Daya Alam (SDA) sebagai acuan dan pedoman bagi pemangku hak dalam melindungi dan membela hak-haknya bagi pengemban kewajiban dalam menyusun juga merencanakan peraturan-undangan, mengatur kebijakan serta implementasinya untuk menghormati, melindungi dan memenuhi HAM terkait tanah dan SDA.
Konsultasi publik Komnas HAM ini digelar secara virtual pada Kamis (29/7/2021).
Wakil Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) yang hadir sebagai salah satu narasumber, Fernando Sinaga memberikan masukan kritis terhadap rencana penyusunan SNP HAM ini.
Fernando mengatakan, pengawasan yang telah dilakukan Komite Saya selama ini menemukan berbagai permasalahan pertanahan dan SDA, meskipun ketika sama pemerintah telah melakukan berbagai upaya dan program seperti sertifikasi tanah, perhutanan sosial, penataan ulang tanah terlantar dan pembukaan 22 ribu desa dari kawasan hutan.
“Dari pengawasan Komite I, kami melihat Pemerintah masih belum mampu menyelesaikan konflik pertanahan yang terjadi khususnya di daerah, yaitu lemahnya komitmen dan keseriusan Pemerintah Daerah dalam menyelesaikan konflik lahan sebagaimana salah satu contoh kasus yang telah kami lihat sendiri saat kunjungan kerja bersama dengan Wamen ATR/ BPN dan Komnas HAM ketika berdialog dengan Suku Anak Dalam di Jambi”, ujar Fernando.
Karena itu, lanjut Fernando, di forum konsultasi publik ini akan memberikan masukan kritis yang pertama, yaitu DPD RI berharap Komnas HAM dapat melindungi dengan DPD RI sebagai wakil rakyat daerah untuk memperkuat komitmen dan keseriusan Pemerintah Daerah dalam menyelesaikan konflik tanah dan sumber daya alam melalui NSP HAM ini.
Kedua, Fernando melanjutkan, yaitu tentang persoalan kritis desa yang ada dikawasan hutan dan HGU yang dimasukan dalam SNP HAM.
“Ada 22 ribu desa yang harus membuka dari kawasan hutan. Saya tahu tadi dengan Pak Bito Wikantosa dari Kemendes yang menyatakan SNP ini belum membahas lebih mendalam tentang desa. Karena itu saya minta Komnas HAM memasukan masalah HGU dan membuka desa dikawasan hutan kedalam SNP ini,” timpal Fernando.
Dalam paparannya, Fernando memberikan masukan kritis ketiga, yaitu harapan Komite I DPD RI agar NSP HAM ini dapat memberikan informasi tentang tingkat keparahan konflik tanah dan sumber daya alam diberbagai daerah.
“Perlu saya informasikan bahwa di Kaltara dapil saya, masalah konflik tanah dan sumber daya alam yang melibatkan masyarakat adat dan institusi negara sudah berjalan belasan tahun dan tak kunjung selesai sampai saat ini. Ini bisa menjadi materi SNP HAM dalam menyusun tingkat keparahan konflik tanah dan SDA di daerah,” tulisnya.
Fernando menegaskan, berbagai konflik pertanahan dan SDA selama ini sesungguhnya terindikasi melanggar prinsip-prinsip HAM, non diskriminasi, universal, dan menjunjung tinggi kemanusiaan. Pelanggaran prinsip HAM tersebut ditandai dengan adanya korban jiwa, termasuk kekerasan dan represif, harta benda dan kerugian materi lainnya. Bahkan tidak jarang menimbulkan traumatik tersendiri bagi masyarakat.
Merujuk pada catatan I DPD RI selama ini, tercatat sampai dengan tahun 2020, telah terjadi 241 kasus konflik pertanahan dimana tertinggi ada di Komite perkebunan dengan 122 kasus yang terjadi dan kehutanan dengan 41 kasus. Total luas lahan konflik 624 ribu hektar mencakup sektor kehutanan lebih dari 312 ribu hektar dan perkebunan 230 ribu hektar.
Konflik agraria di sektor perkebunan paling banyak pada lahan sawit sebesar 101 kasus dan tebu 3 kasus. paling banyak Konflik berkaitan dengan perusahaan swasta 106 kasus dan BUMN 12 kasus. Selain itu, konflik juga melibatkan masyarakat dengan aparat keamanan dan klaim.
“Maka masukan keempat saya di forum ini adalah kami dari DPD RI berharap NSP HAM Tanah dan SDA ini dapat mendorong Komnas HAM untuk pro aktif melibatkan negara dalam menyelesaikan konflik tanah dan sumber daya alam. Tanggungjawab negara adalah bagian dari prinsip HAM,” tegas Fernando.
Kemudian Fernando Sinaga menyatakan, sebagai masukan kelima, dirinya ingin menegaskan bahwa NSP HAM ini harus memperkuat kewibawaan dan ketegasan Komnas HAM sebagai lembaga negara penegak HAM yang berpihak pada rakyat.
“Kementerian/Lembaga sejatinya harus patuh pada NSP HAM ini. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, kami dari DPD RI menyesalkan adanyapatuhan dan kurangnya komitmen dalam mengungkapkan berbagai dari Kementerian/Lembaga HAM bersama Komnas HAM,” tutup Fernando.**@(R”77)